Entah umurnya berapa ratus tahun, beringin itu tetap kokoh menjulang tinggi. Karena usia, beberapa bagian batang nampak lapuk. Tiga juntai akarnya yang kini telah berubah menjadi batang, terlihat seolah penopang yang memapah tegaknya pohon tua itu.
Tumbuh di antara banyaknya makam keluarga para raja, mejadikan kesan mistis melingkupi suasana. Seolah menjadi saksi, beringin itu tetap bertahan hingga kini sebagai penanda bahwa dalam teduh rerimbunan daunnya, terdapat banyak kisah di baliknya. Sebagian kisahnya tercatat apik dalam sejarah, tetapi lebih banyak bagian lainnya tersisa sebagai mitos yang melegenda. Di bawah pohon itulah, salah satu kerajaan tua di Sulawesi Selatan bermula.
Lokasinya terletak di tengah kota, dalam wilayah Kelurahan Pallantikang. Pallantikang juga berarti “tempat pelantikan”. Di bawah pohon beringin itulah raja – raja Bantaeng dilantik oleh dua belas dewan adat yang dikenal nama Ada’Sampulonrua. Dewan adat ini, semacam legislator di masa lalu.
Terdapat dua batu penanda yang berada di bawah pohon raja itu. Batu pertama yakni batu tempat berdirinya calon raja ketika dilantik yang dinamakan pappuniagang. Satunya lagi, terdapat batu memanjang yang tidak terlalu besar. Batu sejenis Koral itu, kelihatan berpori. Kurang lebih ukurannya 60 centimeter. Batu legenda itu, tepat berada di bawah pohon beringin.
Batu memanjang mirip kepompong itulah yang hendak saya kisahkan karena berkait dengan sebuah nama yang juga adalah legenda beberapa kerajaan besar di jazirah Sulawesi, termasuk kerajaan Gowa, dimana Pahlawan nasional Sultan Hasanuddin pernah bertahta.
Batu itu tak bernama. Dilihat sepintas, juga tidaklah istimewa karena tidak berbentuk sesuatu sebagai sebuah mitos, seperti misalnya batu Maling Kundang yang berbentuk terkutuk. Walau tak unik, ataupun seram dari segi bentuk, batu itu dipenuhi potongan daun pandan dan kembang kertas. Bahkan terdapat wadah dupa pada batu pelantikan yang terletak di sebelahnya.
Jelaslah, batu itu dikeramatkan oleh sebagian warga Bantaeng yang mempercayainya. Nurbaeti, yang akrab saya panggil Karaeng (Kr) Beti, menceritakan mitos keberadaan batu yang berkait dengan nama LAKIPADADA, seorang tokoh masa lalu yang juga dipercaya menjadi mitos lahirnya beberapa kerajaan besar di sulawesi.
Disebutkan, bahwa Lakipadada adalah bangsawan dari Tanah Toraja, sebuah Kabupaten yang juga dikenal saat ini sebagai salah tujuan wisata paling terkenal di Sulsel. Di masa lalu, sang tokoh dikisahkan bersedih karena kematian saudara perempuannya. Paranoid dengan kematian, membuatnya merantau untuk mencari mustika berkhasiat hidup abadi. Mustika itu bernama Tang Mate (Tak Pernah Mati).
Siang yang beranjak makin terik, menjadi teduh di bawah beringin. Di tempat itulah Kr. Beti yang adalah cucu langsung Karaeng (raja) Bantaeng terakhir, Andi Massowalie mengisahkan legenda itu. Ia menceritakan Legenda Lakipadada versi Bantaeng.
Dikisahkan lisan turun temurun, bahwa batu memanjang itu adalah tempat dimana Lakipadada turun ke bawah tanah untuk mengambil pusaka Karaeng Bantaeng. Pusaka itu sejenis tombak yang bergelar ba’bala ejayya, yang berbalut kain merah di pangkal mata tombaknya.
Tombak itu sebelumnya dipinjam Lakipadada kepada karaeng untuk berburu babi hutan. Dikisahkan, bahwa raja sangat menjaga tombak pusakanya, tetapi karena Lakipadada yang juga memiliki kesaktian melebihi manusia biasa itu berjanji akan menjaganya dengan baik, maka diberikanlah kepadanya.
Singkat cerita, acara berburu itu pun berlangsung. Seekor babi ketimban tombak Lakipada. Sial baginya, tombak yang sudah menancap di punggung babi itu di bawa lari masuk ke dalam tanah, tepat di bawah batu memanjang itu. Tentu Lakipadada heran dan juga khawatir raja bakal murka karena tombaknya hilang di telan bumi.
Walau tak rasional, tetap saja saya serius mendengarkan cerita itu. Kr. Beti yang juga adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bantaeng, mengingatkan bahwa ceritanya hanyalah mitos, penanda sebuah peristiwa yang dilegendakan. Walau demikian, syarat sebuah mitos tentu dipercaya benar-benar pernah terjadi di masa lampau, setidaknya oleh yang empunya cerita ataupun pengikutnya.
Agar kisahnya tak membosankan, saya menyingkatnya. Lakipadada yang juga memiliki kesaktian luar biasa ternyata memegang komitmen. Ia pun masuk ke dalam tanah dan ditemuinya sebuah istana megah. Di luar Istana ia mendapati para perempuan menumbuk padi, Ia pun bertanya bagaimana caranya bertemu dengan Raja. Dengan muka murung, perempuan itu pun berkata bahwa Raja sedang sakit. Tak seorang pun bisa menemui sang raja di pembaringan.
Tak kehabisan akal, Lakipadada menyamar jadi dukun. Pengawal istana kemudian mengizikannya untuk mengobati sang raja. Ia pun masuk ke bilik raja dan mendapati tombak ba’bala Ejayya tertancap di punggungnya. Ternyata Babi itu adalah jelmaan seorang raja yang bertahta di bawah tanah.Sebelum mencabut tombak, ia kembali keluar dari peraduan raja yang kesakitan itu. Pada pengawal yang berjaga, ia berpesan, “ Janganlah kalian kaget, saat kalian mendengar baginda berteriak. Itu bertada obatnya bekerja”. Aha, akal cerdik Lakipadada berhasil. Ia tidak ingin pengawal kaget dan membunuhnya, karena menyakiti pasiennya saat mencabut tombak yang dipinjamnya.
Aneh, setelah mencabut tombak itu, raja pun sembuh. Oleh raja Ia diberi hadiah sebilah tombak yang mirip dengan Ba’bala Ejayya. Kembalilah ia ke hadapan Karaeng Bantaeng dan menyerahkan tombak itu. Tombak satunya ia pegang dan kemudian Ia bawa ke Kerajaan Gowa untuk petualanganselanjutnya.Tombak itu, bukanlah mustika keabadianTang Mate yang ia cari hinga jauh dari tanah kelahirannya. Adapun tombak kembarannya, tetap sebagai pusaka kerajaan Bantaeng dan masih tersimpan sampai kini.
Lakipadada atau Karaeng Bayo yang selanjutnya ke tanah Gowa, dalam sebuah kisah menyebutkan bahwa Ia mempersunting putri Raja Gowa, dan selanjutnya menjadi raja. Dalam satu sumber, saya menemukan beberapa versi yang berbeda.Ada yang menganggap bahwa Karaeng Bayo, juga adalah nama lain Lakipadada. Tetapi dalam versi yang lain, bahwa Karaeng Bayo adalah saudara atau teman Lakipadada yang bersamanya ke Gowa. Karaeng Bayo itulah yang menurunkan raja-raja selanjutnya di Kerajaan Gowa.
Di Bantaeng, Lakipadada juga dikenal dengan karaeng to terang-terang, atau orang yang kakinya dipenuhi tiram. Dalam mitos yang disepakati beberapa budayawan, disebutkan bahwa Lakipada yang sakti mandraguna ini, dalam perjalanannya bergelantung di kaki burung Kuwajeng, sejenis burung Garuda.
Sang Kuwajeng kemudian menjatuhkannya ke pantai. Dalam perjalanan selanjutnya, Lakipadada berjalan kaki menyusuri pantai hingga sampai ke Bantaeng. Kakinya dipenuhi tiram (terang-terang) karena lamanya Ia berjalan. Memang banyak gelaran terhadapnya, ia juga berjuluk to tetea ri jennek (orang yang berjalan di atas air) atau Manurungge Ri Jennek (Orang yang turun ke atas air).
Budayawan Sulsel, Prof Dr A.Zainal Abidin, memberikan analisis sejarahnya. Bahwa Karaeng Bayo yang dimaksud (entah Lakipadada sendiri atau saudaranya) juga bernama Patta La Bantang. Tokoh inilah yang pertama menemukan Bantaeng, yang kemudian ke Gowa dan menjadi raja di sana. Dari namanya, memang terkesan identik dengan nama Bantaeng, walau dalam penuturan yang lain, nama Bantaeng dalam versi Kr. Imran Massowallie berasal dari nama sebuah pohon, yakni pohon Taeng.
Sekali lagi nama Patta La Bantang menuai versi yang berbeda. Dalam silsilah kerajaan tradisional Toraja menyebutkan bahwa Patta La Bantang atau La Bantan yang di maksud adalah anak dari Lakipadada, hasil perkawinannya dengan putri raja Gowa. Disebutkan dalam tulisan itu, bahwa Lakipadada memiliki tiga orang putra yang masing-masing menjadi raja di Luwu (Patta La Bunga), Gowa (Patta La merang) dan Toraja sendiri (Patta La Bantan).
Sayang memang, lakon tokoh Lakipadada hanya dituturkan lisan turun temurun. Tidak ada manuscript berupa kitab kuno atau pun prasasti yang menuliskannya, sehingga terjadi kesimpan siuran sejarah. Perlu ditelusuri lebih jauh tentang tokoh fenomenal ini. Ada pun diakhir cerita, ternyata Lakipadada tak menemukan mustika yang dimaksud, sehingga hidupnya tidaklah abadi. Keabadiannya adalah kisahnya yang sampai saat ini terus diceritrakan.
Berbeda halnya dengan tokoh Saweregading , tokoh dari kerajaan Luwu, Sulsel yang juga dipercaya sebagai leluhur Bugis-Makassar ini tercatat dalam sebuah kitab kuno. Kisah Saweregading terangkum dalam manuscript epos Lagaligo. Epos ini adalah kitab terpanjang di dunia, mengalahkan Epos Mahabarata di India.
Editor : Adhe Shira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar